Harga Sebuah Sejarah …

Hmm …

Berkaitan dengan akan dijualnya sebuah rumah di Blitar, Jawa Timur, tempat Bung Karno menghabiskan masa kecil, seharga 50 Miliar oleh sang pemilik rumah …

Wheew … 😉

Berapa harga sebuah sejarah? Jawabannya bisa seenak udel penjualnya. Lihatlah kertas kuno yang berisi kumpulan tulisan pelukis terkenal Leonardo da Vinci, yakni Codex Leicester, yang dijual US$ 30,8 juta atau Rp 285,7 miliar. Uang sebanyak itu cukup untuk mentraktir dua mangkuk bakso penduduk se-Indonesia.

Mahalkah? Tergantung siapa yang beli. Bagi pendiri Microsoft sekaligus orang terkaya sejagat dari 1995 sampai 2007, Bill Gates, nilai itu harga yang lumrah. Jadi, dia pun membelinya buat hiasan di rumahnya.

Ingin lebih tahu harga sebuah sejarah? Longoklah rumah peninggalan mantan Presiden Soekarno di Blitar. Rumah kuno yang asri di Jalan Sultan Agung 56, Kelurahan Gebang, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar, itu ingin dijual Rp 50 miliar. Padahal luas tanahnya cuma 1,4 hektare. Weleh, weleh… Bonusnya, bantal, guling, kasur, serta peranti rumah tangga yang juga sudah kuno–ada sejak Bung Karno masih kecil.

Wajarkah benda kuno–kalau tak boleh disebut barang “jadul” alias zaman dulu–ini dihargai semahal itu? Ini artinya tanah dan bonus bantal itu dihargai sekitar Rp 3,5 juta per meter. Padahal, menurut pemerintah setempat, harga yang pantas untuk rumah itu adalah Rp 15 miliar saja.

Tentu sah-sah saja kalau ahli waris ndalem rumah yang berjuluk Istana Gebang itu minta harga tinggi. Namanya juga barang antik, siapa pun tak boleh protes. Padahal, yen dipikir-pikir, harga rumah Rp 50 miliar itu lebih tinggi daripada dana subsidi pendidikan se-Indonesia yang cuma Rp 42,2 miliar.

Mengapa semahal itu, ya? Apa ahli waris Ny. Soekarmini, kakak kandung Bung Karno yang notabene pemilik rumah itu, “terlalu” menghayati apa yang dikatakan sang Proklamator itu, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah”? La inilah akibat terlalu “menghargai”, jadi pasang harga seenaknya. Sampai-sampai Pemerintah Kabupaten Blitar angkat tangan. Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault juga pusing menggalang dana dari kalangan artis untuk “menyelamatkan” rumah yang dibangun pada 1914 itu. Pemerintah yang sedang kena krisis bahan bakar minyak juga belum mau memberi tanggapan.

Bukankah tidak lucu bila akhirnya rumah Bung Karno itu dibeli oleh saudagar Malaysia? Yok opo rek?

Burhan Solihin

Tinggalkan komentar